Selasa, 06 Desember 2011

janji

Janji
( apapun yang terjadi )
Maria masih tetap menutup pintu kamarnya. Tak ada suara sedikitpun yang terdengar. Senyap. Entah apa yang ia lakukan. Ia seolah mengetahui bila aku mengintipnya dari lubang angin diatas pintu. Dengan cepat ia menutup lubang angin dengan karton tebal yang disolatipnya. Aneh, apakah Maria marah padaku? Apa salahku hingga ia tak pernah mau berbicara denganku??
Suatu pagi pernah kupergoki ia mengambil beberapa kertas dari dalam map di meja kerjaku.
“Maria…sedang apa?”
Maria segera berlari, tapi tanganku menangkapnya.
“Sayang…ngomong dong…bunda bingung kenapa kamu ngga mau ngomong…”
Dengan cuek, Maria mendorongku. Aku terjatuh. Meskipun tubuhnya mungil, Maria cukup kuat.
Pikiranku tidak focus, merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada Maria. Semenjak aku mengadopsinya dari Panti Asuhan, ia belum berbicara sedikitpun padaku. Tapi matanya..berbeda dengan mata anak lain. Entah, mungkin hanya firasatku saja. Maria seolah bisa membaca pikiran dari mataku. Mungkin Maria mengalami mutism, hingga ia tak mau berbicara. Tapi mengapa? Apa ia merasa aku kasar? Sungguh, aku tak pernah membentaknya apalagi kasar secara fisik…
“Mungkin Maria memang mutism…kamu harus bawa dia ke psikolog anak.” Kemal, sahabatku mencoba menasihatiku.
“Nanda..lagian kenapa kamu ngga menikah? Kamu butuh pendamping..ngga mungkin kamu ngurusin Maria sendirian….”
Mendengar kata menikah, rasanya hatiku teriris. Aku tidak mungkin menikah.
“Nanda.. “
Pikiranku melayang ke masa lalu, dimana aku sedang memperhatikan seorang pria. Semakin lama bayangannya menghilang . Pertemuan terakhir dengan Rahman di bandara itu selalu teringat. Dari belakang, sosoknya tetap saja terlihat istimewa. Karena ia pacarku. Aku berharap ia kelak yang menjadi suamiku.
“Nanda…Aku berangkat…doakan ya.”
“Siap…sukses buat pacarku! hahaha”
“Dasarr…oh ya, pasti aku akan kembali buat kamu, Nanda…”
“Harus. Aku pasti kangen kamu.”
“Aku janji nanti aku pasti kembali. Menemani kamu… apapun yang terjadi.”
Rahman akan melanjutkan studinya ke Amerika. Mencintainya adalah membebaskannya memilih hidupnya. Ia cerdas, dan ia pantas mendapatkannya. Aku sama sekali tidak memikirkan bagaimana nantinya hubungan kami. Aku hanya berharap ia sukses dan selamat.
Pria yang ada di hadapanku kini memelas, mencoba membuka pintu hatiku yang terutup rapat. Kemal Ardian, sosok yang mendekatiku setelah Rahman tewas karena kecelakaan pesawat yang ditumpanginya. Kemal adalah kakak Rahman.
“Aku mau pulang duluan ya, kasian Maria mungkin mau makan….”
Kemal mengangguk. Dari sorot matanya terbersit rasa kecewa.
Mengingat Maria sangat senang mengambil kertas dari meja kerja, mungkin Maria senang menggambar. Oh, atau menulis? Dengan rasa penasaran, kubeli  cat air, buku gambar, pinsil warna, krayon, dan beberapa kuas.
Sesampainya di rumah, dengan berjingkat, aku mencoba ingin melihat apa yang Maria lakukan ketika aku keluar rumah. Sengaja aku masuk melalui pintu dapur belakang. Tanpa suara, aku berhasil membuka kunci pintu dapur. Tak ada suara. Senyap. Kulirik meja kerjaku. Aneh, pensil-pensil yang berada di tempat pensil tidak ada. Hanya ada beberapa pulpen. Dengan senyap, aku berhasil melihat celah kecil dari pintu kamar Maria yang terbuka.
Sepertinya Maria tidak ada di dalam kamarnya, mungkin ia sedang di lantai atas, di ruang buku. Tapi yang membuatku berdebar, melihat seluruh permukaan tembok kamar Maria ditempeli kertas bergambar. Maria mustahil bisa membuat gambar sebanyak itu. Tapi yang membuatku aneh……….gambarnya sangat realis. Garis-garis bangunan yang ia buat sungguh tidak mungkin dibuat anak seusianya.
Entah mengapa jantungku berdebar. Dengan perlahan aku mengendap memasuki kamarnya. Hampir seluruh permukaan tembok dipenuhi gambar. Keringat dingin terasa memenuhi sekujur kulitku. Gambar yang dibuat Maria…
Darahku seolah mengalami stagnasi. Mungkin aku tak akan percaya pada mataku. Pasti ini hanya mimpi. Sungguh. Tidak mungkin Maria yang menggambar semua ini. Aku tak mampu menyembunyikan perasaan ngeri seperti ini. Ya, bulu kudukku meremang. Mataku tak hanya melihat gambar-gambar Maria yang seperti sebuah cerita. Malah bisa dibilang cerita yang amat mirip, dengan ceritaku.
Dalam gambar-gambarnya, memang tidak ada yang aneh. Seolah Maria ingin menceritakan pertemuan awalnya denganku di Panti Asuhan. Detail gambarnya sangat tepat, aku mengenakan blus  dengan celana panjang , dan rambutku masih panjang sepunggung. Kemudian ada gambar Bu Hendriani, Ketua pengelola Panti Asuhan, yang sedang memberikan sebuah kertas seperti data diri padaku. Tapi yang membuatku aneh, ada sosok pria yang menunduk. Ia duduk tepat di sebelahku. Kursi yang disediakan ada dua, dan seingatku aku datang sendiri.
Rasanya aku mengenali baju yang dikenakan pria di sebelahku, tapi ah..tidak mungkin.
“Bunda sedang apa?”
Aku hampir saja jatuh lemas karena kaget. Tiba-tiba Maria di belakangku. Maria baru saja bicara. Maria bicara!
“…A….A..Apa…kamu yang buat ini…?” dengan gugup (karena jantungku berdegup kencang) aku bertanya pada Maria.
Maria mengangguk. Kulihat wajahnya seperti biasa.
Dengan langkah berat, kulanjutkan melihat gambar lain. Gambar rumahku. Rumah yang kini aku dan Maria tempati. Tepat di meja kerjaku. Aku sedang duduk, memperhatikan album foto lawas. Benar, bagaimana Maria bisa menggambar setepat ini? Kapan ia memperhatikanku?? Jantungku nyaris copot melihat sosok pria itu hadir lagi, ia memperhatikanku. Melihat cirri-ciri fisiknya, aku merinding. Hingga keringat dingin menetes dari tengkukku.
Tidak salah lagi, pria itu Rahman.
Dan yang membuat tubuhku lemas, gambar Rahman yang tersenyum ketika melihat cincin yang ia berikan masih aku kenakan. Rahman sungguh terlihat seperti sebelum ia kecelakaan. Pakaiannya bersih, tak ada luka atau noda sedikitpun seperti yang kulihat di berita ketika ia tewas.
“Maria…kamu tahu ini siapa?” tanyaku sambil menunjuk gambar Rahman.
Maria mengangguk. “Ayah Maria. Ayah bilang, Ayah sayang sama Bunda.”
Air mataku menetes. Terbendung oleh rasa sedih yang disimpan bertahun-tahun. Aku percaya Rahman adalah manusia yang baik dan berhati malaikat. Aku tahu Rahman akan menepati janjinya. Meskipun menangkap bayangannya pun aku tak mampu. Apapun yang terjadi, aku mencintainya.
“Nanda…Aku berangkat…doakan ya.”
“Siap…sukses buat pacarku! hahaha”
“Dasarr…oh ya, pasti aku akan kembali buat kamu, Nanda…”
“Harus. Aku pasti kangen kamu.”
“Aku janji nanti aku pasti kembali. Menemani kamu… apapun yang terjadi.”
Maria memelukku. Aku nyaris tidak percaya ia bisa bicara dengan normal.
“Ayah bilang harus ajak ngobrol Bunda, harus nemenin Bunda….Maria minta maaf sama Bunda…”
“Sayang…kamu ngga salah…”
“Oya, Maria….Ayah sekarang dimana?”
Maria tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Ayah udah pulang…………”
Bandung, 7 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

janji

| |

Janji
( apapun yang terjadi )
Maria masih tetap menutup pintu kamarnya. Tak ada suara sedikitpun yang terdengar. Senyap. Entah apa yang ia lakukan. Ia seolah mengetahui bila aku mengintipnya dari lubang angin diatas pintu. Dengan cepat ia menutup lubang angin dengan karton tebal yang disolatipnya. Aneh, apakah Maria marah padaku? Apa salahku hingga ia tak pernah mau berbicara denganku??
Suatu pagi pernah kupergoki ia mengambil beberapa kertas dari dalam map di meja kerjaku.
“Maria…sedang apa?”
Maria segera berlari, tapi tanganku menangkapnya.
“Sayang…ngomong dong…bunda bingung kenapa kamu ngga mau ngomong…”
Dengan cuek, Maria mendorongku. Aku terjatuh. Meskipun tubuhnya mungil, Maria cukup kuat.
Pikiranku tidak focus, merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada Maria. Semenjak aku mengadopsinya dari Panti Asuhan, ia belum berbicara sedikitpun padaku. Tapi matanya..berbeda dengan mata anak lain. Entah, mungkin hanya firasatku saja. Maria seolah bisa membaca pikiran dari mataku. Mungkin Maria mengalami mutism, hingga ia tak mau berbicara. Tapi mengapa? Apa ia merasa aku kasar? Sungguh, aku tak pernah membentaknya apalagi kasar secara fisik…
“Mungkin Maria memang mutism…kamu harus bawa dia ke psikolog anak.” Kemal, sahabatku mencoba menasihatiku.
“Nanda..lagian kenapa kamu ngga menikah? Kamu butuh pendamping..ngga mungkin kamu ngurusin Maria sendirian….”
Mendengar kata menikah, rasanya hatiku teriris. Aku tidak mungkin menikah.
“Nanda.. “
Pikiranku melayang ke masa lalu, dimana aku sedang memperhatikan seorang pria. Semakin lama bayangannya menghilang . Pertemuan terakhir dengan Rahman di bandara itu selalu teringat. Dari belakang, sosoknya tetap saja terlihat istimewa. Karena ia pacarku. Aku berharap ia kelak yang menjadi suamiku.
“Nanda…Aku berangkat…doakan ya.”
“Siap…sukses buat pacarku! hahaha”
“Dasarr…oh ya, pasti aku akan kembali buat kamu, Nanda…”
“Harus. Aku pasti kangen kamu.”
“Aku janji nanti aku pasti kembali. Menemani kamu… apapun yang terjadi.”
Rahman akan melanjutkan studinya ke Amerika. Mencintainya adalah membebaskannya memilih hidupnya. Ia cerdas, dan ia pantas mendapatkannya. Aku sama sekali tidak memikirkan bagaimana nantinya hubungan kami. Aku hanya berharap ia sukses dan selamat.
Pria yang ada di hadapanku kini memelas, mencoba membuka pintu hatiku yang terutup rapat. Kemal Ardian, sosok yang mendekatiku setelah Rahman tewas karena kecelakaan pesawat yang ditumpanginya. Kemal adalah kakak Rahman.
“Aku mau pulang duluan ya, kasian Maria mungkin mau makan….”
Kemal mengangguk. Dari sorot matanya terbersit rasa kecewa.
Mengingat Maria sangat senang mengambil kertas dari meja kerja, mungkin Maria senang menggambar. Oh, atau menulis? Dengan rasa penasaran, kubeli  cat air, buku gambar, pinsil warna, krayon, dan beberapa kuas.
Sesampainya di rumah, dengan berjingkat, aku mencoba ingin melihat apa yang Maria lakukan ketika aku keluar rumah. Sengaja aku masuk melalui pintu dapur belakang. Tanpa suara, aku berhasil membuka kunci pintu dapur. Tak ada suara. Senyap. Kulirik meja kerjaku. Aneh, pensil-pensil yang berada di tempat pensil tidak ada. Hanya ada beberapa pulpen. Dengan senyap, aku berhasil melihat celah kecil dari pintu kamar Maria yang terbuka.
Sepertinya Maria tidak ada di dalam kamarnya, mungkin ia sedang di lantai atas, di ruang buku. Tapi yang membuatku berdebar, melihat seluruh permukaan tembok kamar Maria ditempeli kertas bergambar. Maria mustahil bisa membuat gambar sebanyak itu. Tapi yang membuatku aneh……….gambarnya sangat realis. Garis-garis bangunan yang ia buat sungguh tidak mungkin dibuat anak seusianya.
Entah mengapa jantungku berdebar. Dengan perlahan aku mengendap memasuki kamarnya. Hampir seluruh permukaan tembok dipenuhi gambar. Keringat dingin terasa memenuhi sekujur kulitku. Gambar yang dibuat Maria…
Darahku seolah mengalami stagnasi. Mungkin aku tak akan percaya pada mataku. Pasti ini hanya mimpi. Sungguh. Tidak mungkin Maria yang menggambar semua ini. Aku tak mampu menyembunyikan perasaan ngeri seperti ini. Ya, bulu kudukku meremang. Mataku tak hanya melihat gambar-gambar Maria yang seperti sebuah cerita. Malah bisa dibilang cerita yang amat mirip, dengan ceritaku.
Dalam gambar-gambarnya, memang tidak ada yang aneh. Seolah Maria ingin menceritakan pertemuan awalnya denganku di Panti Asuhan. Detail gambarnya sangat tepat, aku mengenakan blus  dengan celana panjang , dan rambutku masih panjang sepunggung. Kemudian ada gambar Bu Hendriani, Ketua pengelola Panti Asuhan, yang sedang memberikan sebuah kertas seperti data diri padaku. Tapi yang membuatku aneh, ada sosok pria yang menunduk. Ia duduk tepat di sebelahku. Kursi yang disediakan ada dua, dan seingatku aku datang sendiri.
Rasanya aku mengenali baju yang dikenakan pria di sebelahku, tapi ah..tidak mungkin.
“Bunda sedang apa?”
Aku hampir saja jatuh lemas karena kaget. Tiba-tiba Maria di belakangku. Maria baru saja bicara. Maria bicara!
“…A….A..Apa…kamu yang buat ini…?” dengan gugup (karena jantungku berdegup kencang) aku bertanya pada Maria.
Maria mengangguk. Kulihat wajahnya seperti biasa.
Dengan langkah berat, kulanjutkan melihat gambar lain. Gambar rumahku. Rumah yang kini aku dan Maria tempati. Tepat di meja kerjaku. Aku sedang duduk, memperhatikan album foto lawas. Benar, bagaimana Maria bisa menggambar setepat ini? Kapan ia memperhatikanku?? Jantungku nyaris copot melihat sosok pria itu hadir lagi, ia memperhatikanku. Melihat cirri-ciri fisiknya, aku merinding. Hingga keringat dingin menetes dari tengkukku.
Tidak salah lagi, pria itu Rahman.
Dan yang membuat tubuhku lemas, gambar Rahman yang tersenyum ketika melihat cincin yang ia berikan masih aku kenakan. Rahman sungguh terlihat seperti sebelum ia kecelakaan. Pakaiannya bersih, tak ada luka atau noda sedikitpun seperti yang kulihat di berita ketika ia tewas.
“Maria…kamu tahu ini siapa?” tanyaku sambil menunjuk gambar Rahman.
Maria mengangguk. “Ayah Maria. Ayah bilang, Ayah sayang sama Bunda.”
Air mataku menetes. Terbendung oleh rasa sedih yang disimpan bertahun-tahun. Aku percaya Rahman adalah manusia yang baik dan berhati malaikat. Aku tahu Rahman akan menepati janjinya. Meskipun menangkap bayangannya pun aku tak mampu. Apapun yang terjadi, aku mencintainya.
“Nanda…Aku berangkat…doakan ya.”
“Siap…sukses buat pacarku! hahaha”
“Dasarr…oh ya, pasti aku akan kembali buat kamu, Nanda…”
“Harus. Aku pasti kangen kamu.”
“Aku janji nanti aku pasti kembali. Menemani kamu… apapun yang terjadi.”
Maria memelukku. Aku nyaris tidak percaya ia bisa bicara dengan normal.
“Ayah bilang harus ajak ngobrol Bunda, harus nemenin Bunda….Maria minta maaf sama Bunda…”
“Sayang…kamu ngga salah…”
“Oya, Maria….Ayah sekarang dimana?”
Maria tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Ayah udah pulang…………”
Bandung, 7 Desember 2011

0 komentar:

Posting Komentar

.